gambar

gambar
gambar

Sabtu, 06 November 2010

Merapi


Hari itu,hari selasa malam,tanggal 26 oktober 2010. Tarjo baru saja pulang dari pekerjaannya sehari – hari. Istrinya, Tarmi yang setia menunggunya pulang membuatkannya secangkir teh hangat dan di temani dengan sajian ubi rebus nan menggoda. Tarjo pun tersenyum sambil berkata,

“mbok, dino iki masak opo to kwe?aku wes luweh iki during maem awit mau awan..”

“iki lo pak ibu masake tumis kangkung kalian ayam goreng lan sambel terasi. Sekedap geh pak kua pu pundutake panjenengan daharipun.”

Begitulah kata Tarjo yang di balas dengan lemah lembut oleh istrinya yang setia padanya. Sebelum Tarmi berlalu, Tarjo memegang tangan istrinya sambil berkata,

“bu, boten sah di pundutake dhahare kula. Monggo dhahar bareng kaliyan putro putrinipun ning mejo makan.”

Tarmi pun langsung terkejut mendengar ucapan suaminya, tapi ia tak peduli. Akhirnya di panggilah putra dan putrinya untuk makan malam bersama dengan ayah mereka.

Kehangatan di keluarga Tarjo memanglah terasa. Terlihat dari kedua pasangan yang tidak pernah sekalipun cekcok itu membina putra putri mereka yang hingga sekarang tumbuh besar menjadi dewasa. Seakan kehidupan mereka itu tak terganggu oleh bisikan alam yang mengganggu.

Setelah keluarga yang sangat sederhana itu selesai menyantap makan malam mereka, putri Tarjo, Indah namanya menbantu ibunya yang sedang membereskan bekas makan mereka. Sedangkan sang putra, Raka juga membantu ibunya meskipun tak se cekatan adiknya.

Kebiasaan Tarjo sehabis makan adalah merokok. Tak segan ia merokok sehabis makan, tetapi dia tahu tempat untuk merokok. Ia berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Terdengar bunyi gesekan engse pintu yang sudah tak terawatt itu bagaikan bunyi yang menyakitkan telinga. Kemudian dia duduk di teras rumahnya, sambil merogoh saku celananya untuk mengambil sebatang gulungan kenikmatan sesaat,rokok. Ia bakar dengan ujung rokok itu dengan korek api gasnya yang baru saja dia beli tadi di warung.

“ suwe ora jamu..jamu godong telo..suwe ora ketemu ketemu pisan gawe gelo..sampunipun dhahar, penake yo udut, bar mangan ora ngudut rasane koyo teh tawar..”

begitulah nyanyian yang sedikit ngawur yang sering di lagukan oleh Tarjo saat dia sedang menikmati batang batang rokoknya, seakan ia tidak takut bahaya yang ada di dalam rokoknya..




“ bu, ibu..mreneo bu ngancani bapak ana teras ngomah. Terus gawakke bapak kopi kaliyan pohong goreng ya di go camilan ana njobo..”Tarjo pun memerintahkan istrinya untuk membawakan yang iya minta.

“inggeh mas kula gawekke sekedap geh kangmasku seng paling ganteng.”begituah jawaban dari Tarmi yang sangat pintar membuat suaminya tergila gila dan lengjet kepadanya.

Tidak lama kemudian, Tarmi datang ke teras rumahnya sambil membawakan secangkir kopi dan sepiring penuh ubi goreng yang di minta suaminya.

“suwun geh bu.”kata Tarjo mengucapkan terimakasih kepada istrinya.

“inggeh kang mas. Mas kok aku ngrasakne hawa ora penak yo. Aku ngroso ngambu ngambu blerang saka puncake merapi mas, terus awakku yo ngrasa sumuk banget mas. Mas ngrasakne opo ora seng dak rasakno iki mas?”keluh Tarmi kepada suaminya.

“wah, iyo bu. Aku yo ngrasakne opo kang mbog rasakne bu. Hawane panas banget bu, ki kanti sarungku tak copot soale gerah banget, ki aku yo gebrobyos bu. Wes saiki awak dewe dak mlebu ngomah wae, bapak ngerasa ana seng ganjil.”keluh Tarjo.

Jawaban Tarjo itu membuat perasaan Tarmi semakin galau karena firasat buruk terus menghampiri. Akhirnya firasat buruk Tarmi pun terbukti. Malam itu Gunung Merapi meletus. Tarmi pun bergegas berlari keluar rumahnya. Ia tak peduli lagi dengan keluarga yang ada di dalamnya. Tarjo, Raka dan Indah masih ada di dalam rumah. 

Terlihat awan panas atau wedhus gembel yang meluncur deras bagaikan jet buatan Amerika yang sedang mengunci target. Wedhus gembel itu menyapu rumah rumah penduduk yang berada dekat dengan lerengnya.

“haduh haduh masku nang ndi ki, anakku nang ndi?Raka, Indah. Haduh biyung.”

Ia kebingungan, galau, kacau dalam kegalutan riuh teriakan manusia yang kebingungan dalam mencari cari ketenangan. Tarmi lupa bahwa keluarga tercintanya masih tertinggal di dalam rumah. Ia menangis tanpa terkendali, seperti orang gila.



Tarmi sempat menyesali perbuatannya beberapa hari lalu yang ia lakukan terhadap keluarganya. Ia pernah tidak masak makanan untuk keluarga mereka karena ia kesal dengan suaminya yang main serong dengan perempuan lain. Ia sempat mengatakan dalam bahasa jawa

“aku ora bakalan ngurusi bapak meneh. Kan saiki garwane bapak ana 2, ibu lan cah wedok geleman kae.”

Berkali kali ia mengingat ucapan itu selalu terbayangkan wajah suaminya yang terakhir kali ia lihat waktu sehabis makan malam dan duduk di teras rumah sambil berbicara hangat dengan Tarmi.

Bencana itu meluluh lantakan seluruh desa yang ada di lereng Merapi. Hutan hutan yang dulu hijau nan permai bagaikan permata dunia penghasil oksigen sekarang hanyalah sampah kering penjerat maut bagi warga sekitar. Desa tempat Tarmi tinggal pun tak luput dari sapuan sang wedhus gembel.

Beberapa kali ia berusaha mencari keluarganya di tenda tenda pengungsian, tetapi hasilnya sungguh nihil, nol besar karena tidak di temukan sama sekali. Hatinya bertambah remuk redam bagaikan di tusuk oleh sebutir jarum yang mana jarum itu mengandung kepedihan yang amat dalam.


Rasa lelah pun menghampiri tubuh rentanya. Ia pun sejenak menyandarkan kepalanya yang mulai di tumbuhi oleh rambut putih, tanda lanjut usia. Ia sempat tertidur dan mengigau,

“pak, reneo pak ibu kangen, raka indah cah bagus cah ayu reneo karo ibu, ibu kangen kari kowe kabeh. Ojo tinggalke ibu ya.”

Igauannya itu membuat ia terbangun. Seketika mutiara matanya jatuh. Teringat kembali orang terkasihnya. Tetapi hari itu, Tuhan Maha Besar baginya karena ia melihat sesuatu yang taka sing baginya. Suaminya, ia melihatnya sedang menengok daftar korban bencana. Lalu ia hampiri lelaki yang di kiranya itu suaminya dengan penuh semangat. Ia tidak salah. Benar lah itu suaminya, Tarjo, pangerannya. Tetapi duka juga menyelimui mereka, kedua buah hatinya tak selamat dalam bencana itu.

Duka mendalam untuk korban merapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar